
M. Andyansyah
Peristiwajambi.com, Jambi – Kata “misnomer” adalah sebuah nomina serapan dari bahasa Inggris yang berarti kata atau istilah yang tidak cocok penempatannya. Sementara “nomenklatur” (nomenclature) berarti tata nama atau peristilahan. Jadi, judul di atas mensyaratkan adanya pemberian istilah yang salah terhadap terminologi Positivisme Hukum.
Sebagian besar penstudi hukum tentu tidak asing dengan kata “positif” sebagai suatu istilah yang kerap disandingkan dengan “hukum”. Dari kedua kata itu lahirlah bentuk kata majemuk “hukum positif” dan “Positivisme Hukum.” Istilah pertama biasanya mengacu kepada tatanan norma hukum yang tengah berlaku di suatu tempat tertentu. Istilah berikutnya merupakan nama sebuah aliran filsafat hukum, yang pada Abad ke-19 dan 20 barisannya telah diperkuat oleh John Austin (Inggris) dan Hans Kelsen (Jerman).
“Positivisme adalah jiwa modernitas. Karena itu, kritik atas modernitas harus dimulai dari kritik atas positivisme dengan upaya-upaya untuk menemukan kekhasan metodologi ilmu-ilmu sosial kemanusiaan,” demikian tulis F. Budi Hardiman. Bagi mereka yang memahami benar kuatnya pengaruh cara berpikir yang diasup oleh pengemuka modernitas tentu dengan sendirinya dapat membayangkan betapa kuat berakarnya Positivisme ini sebagai suatu aliran berpikir yang menguasai jaman modern.
Positivisme sendiri dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1857). Tokoh ini dikenal sebagai pencetus Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages). Pemikiran Aguste Comte ini diklaim sebagai “jembatan” antara Rasionalisme Descartes dan mpirisme Bacon. Pengertian “positif” menurut Comte terdiri dari beberapa kemungkinan, yakni:
1. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat Positivisme itu, dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak dijadikan sasaran penyelidikan;
2. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa di dalam filsafat Positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian kemajuan. Filsafat tidaklah hanya berhenti sampai pada pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian mengenai barang sesuatu saja;
3. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat;
4. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian “positif” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran filsafati, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai apa yang sebenarnya kita butuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati;
5. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian “positif” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya, yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.
Dalam hukum tiga tahap, Comte menyebutkan bahwa manusia berkembang ke arah kemajuan, tidak saja pada proses sejarah kehidupannya, melainkan juga pada proses perkembangan jiwanya secara individual. Ketiga tahap itu terdiri dari: (a) tahap teologi atau fiktif, (b) tahap metafisik atau abstrak, dan (c) tahap positif atau riil.
Menurut Comte, masyarakat tahap positif adalah masyarakat yang paling ideal. Sayangnya, apa yang digambarkan oleh Comte sebagai “ideal” itu ternyata terjebak pada ukuran-ukuran yang sangat teknis dan sosiologik. Kritikan dari Lewis Mumford secara tepat menggambarkan kelemahan itu.
Penerbit Qalam di Yogyakarta, dalam mengantar buku terbitannya “Tafsir Politik” (terjemahan karya Michael T. Gibbons) menyebut lima pilar berpikir Positivisme itu. Kelima pilar itu disebutnya sebagai lima asumsi dasar, yang meliputi asumsi: (1) logiko-empirisme; (2) realitas objektif; (3) reduksionisme; (4) determinisme; dan (5) bebas nilai.
Asumsi pertama berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan hanya mungkin diperoleh melalui pengalaman yang terobservasi secara inderawi. Melalui kajian empiris pula pengetahuan itu dapat diverifikasi keabsahannya. Sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, berarti tidak ilmiah, seperti halnya agama.
Asumsi kedua meyakini adanya realitas yang objektif. Hal ini terjadi karena antara subjek (pengamat) dan objek (yang diamati) selalu ada jarak. Distansi ini meyebabkan objek ini dapat dikaji oleh siapapun dengan hasil (kesimpulan) yang sama sepanjang metodologi yang digunakan juga sama. Realitas itu, dengan demikian, selalu tunggal. Pada Abad Pertengahan, realitas objektif juga sangat dipentingkan. Namun, realitas objektif itu dipahami secara spekulatif, bukan dengan logiko-empirisme. Periode transisi dari logiko-spekulatif ke logiko-empirisme itu sempat mendekatkan kutub subjek dengan objek. Sosok René Descartes (1596–1650) memegang peranan penting di sini dengan slogan Cogito ergo sum (je pense donc je suis; I think therefore I exist). Melalui cara berpikir ini disimpulkan bahwa realitas itu dibentuk oleh subjek sendiri.
Pergeseran pendulum epistemologis dari objek ke subjek ini berkembang di jaman rasionalistis filsafat Prancis dan Jerman (Descartes, melewati Leibniz [1646–1716] sampai pada Kant [1724–1804]) dan juga dalam tradisi Anglo Saxon dengan epistemologi yang lebih berorientasi psikologis, seperti tampak dalam filsafat Hobbes (1588–1679), Locke (1632–1704), Berkeley (1685–1753), dan Hume (1711–1776). Namun, kecenderungan ilmu-ilmu alam untuk mendominasi metodologi ilmu akhirnya melepaskan lagi subjek dari objek.
Asumsi ketiga menyatakan bahwa objek ilmiah selalu dapat dipahami dengan cara memecahinya ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil.
Fenomena kompleks dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur kecil. Suhu udara diketahui dari pergerakan molekul-molekul. Emosi cinta dan benci dianalisis dari komposisi kimiawi sekresi kelenjar, dan seterusnya. Pengamatan terhadap satuan-satuan yang terukur inilah yang kemudian pada gilirannya digeneralisasi untuk memahami keseluruhan utuh suatu objek. Konsep yang tidak dapat direduksi (dioperasionalisasikan), seperti halnya konsep Tuhan, maka Ia bukan objek kajian ilmiah. Asumsi di atas mendorong objek penyelidikan ilmu hanya sampai pada batas-batas materi. Sesuatu yang nonmateri dianggap nonilmiah, mistis, dan oleh sebab itu berbahaya untuk disinkretiskan dengan ilmu.
Asumsi keempat adalah determinisme, suatu asumsi yang meyakini adanya hubungan kausal yang bersifat linier demi memandu rangkaian fenomena alam semesta. Asumsi ini membalikkan kembali cara berpikir induktif yang semula diamanatkan logiko-empirisme menjadi logika deduktif nomologis (jika…, maka…). Hal ini terjadi karena hasil-hasil riset yang diperoleh melalui pola induktif itu lalu dirumuskan dalam bentuk dalil- dalil. Kumpulan dalil-dalil yang memiliki kaitan sistemik lalu digunakan untuk membangun suatu teori. Kegunaan teori adalah untuk meramal dan mengendalikan, tidak sekadar menjelaskan suatu fenomena. Posisi berpikir demikian menjadikan segala sesuatu di alam semesta ini dapat berfungsi sebagai sebab sekaligus akibat. Kembali lagi, Tuhan dalam kaca mata Positivisme, tidak termasuk kategori objek kajian ilmiah karena oleh kalangan agamawan Ia tidak pernah didudukkan sebagai akibat. Ia adalah sebab dari segala sebab (causa prima); sesuatu konstatasi berpikir yang pasti ditolak keras oleh Positivisme.
Asumsi kelima atau terakhir adalah aspek bebas nilai dari ilmu. Distansi subjek dengan objek menyebabkan penilaian subjektif tidak pernah diperhitungkan. Ilmu berkembang untuk ilmu. Apa yang bermanfaat untuk mendorong perkembangan ilmu adalah positif dengan sendirinya. Ilmuwan tidak perlu bertanggung jawab terhadap dampak negatif apapun dari kemajuan pengetahuan yang dikembangkannya. Hanya dengan cara demikian, ilmu terbebas dari keraguan, termasuk intervensi politik dan kepentingan lain-lain yang terbukti telah memasung daya nalar manusia sepanjang Abad Pertengahan.
Jaman modern sungguh-sungguh memberi persemaian yang kondusif bagi corak berpikir Positivisme. Konteks politik ketika itu juga tepat seiring dengan paham sekular yang menjauhkan Gereja dari kancah politik praktis. Konteks ekonomi memberi energi besar pula pada Positivisme dengan kemunculan paham Kapitalisme. Penemuan berbagai teknologi baru menambah kepercayaan diri manusia modern (baca: Eropa) yang akhirnya mendorong terjadinya penjelajahan samudera dan kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa non-Eropa yang dianggap mereka berderajat lebih rendah. Apa yang diserukan tokoh Empirisme Inggris Francis Bacon (1561–1626), “Knowledge is power,” benar-benar menjadi kenyataan.
Disusun Oleh : M. ANDYANSYAH
: ______________________
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi
Nomor Induk Mahasiswa : P3B120022
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Elita Rahmi., SH., MH.
